001

by Eunhee
Tags   angst   family   originalcharacter   indonesian   twoshot   | Report Content

A A A A

                Tess…Tess… Suara hujan yang menetes di jendela terdengar dengan jelas di kamar Lena. Tak peduli akan meja belajarnya yang sudah basah karena air hujan, Lena tetap saja membaca buku pelajaran kimia di tempat tidurnya. Suara angin bercampuran dengan gemuruh petir mengisi kehiningan di kamar tersebut.Lena mengangkat kepalanya dari balik buku kimia yang sudah lecek karena halaman yang dibolak-balik terus menerus. “Sebentar lagi” pikirnya, “Sebentar lagi aku bakal lulus SMA”.Lena bangun dari tempat tidur dia, lalu menatap keluar jendela yang terbuka itu.Lena tidak menyangka dia bisa bertahan segitu lamanya.Hampir tiga tahun dia tinggal sendiri di studio-apartment yang kecil dengan sendirinya. Hampir tiga tahun dia menjalani masa-masa SMA tanpa kasih saying orang tua.

                Ya, benar, Lena tinggal sendiri.Mengapa?Dia kabur dari rumah.Tidak seperti kakanya, yang diusir oleh orang tua Lena. Semasa Lena SMP, orang tua dia hanya bilang bahwa kakanya pergi ke luar negeri untuk meneruskan pelajarannya setiap kali Lena menanyakan kakak satu-satunya itu. Tapi semua rahasia akan terungkap, kan? Tepatnya di ulang tahun Lena yang ke-16.Saat itu sedang liburan musim dingin, dan setelah pesta kecil yang diadakan di rumah, Lena terlentang di tempat tidur, diam-diam mendengarkan obrolan kedua orangtuanya.

                “Aldo memang udah nggak pantas bawa nama keluarga kita!” bentak mama.“Sst, pelan-pelan, nanti Lena bangun!” tegur papa, “Iya, aku setuju.Kita membuat keputusan yang benar waktu mengusirnya”, lanjut beliau. “Lagian dia kok bisa sih, sampai dapat peringkat paling bawah?” Tanya mama dengan nada heran.“Papa juga nggak tahu ma, dia malu-maluin kita aja” jawab Papa tanpa menunjukkan simpati atau kerinduan sedikit pun. “Betul, dia juga nggak pernah pulang sore, selalu lewat jam 11, ngapain aja sih dia? Pokoknya Lena jangan sampai jadi seperti Aldo!” keluh Mama lagi.

                Dahi Lena mengernyit mengingat masa lalu yang pahit itu.Padahal Aldo bukanlah tipe orang yang melakukan hal yang aneh-aneh.Lena tahu sendiri alasan Aldo sering pulang malam.Dia ingat jelas percakapannya dengan Aldo pagi itu, dia ingat dengan sangat jelas.

“Ko Aldo!Koko dimana sih?”

“Lena? Koko nggak jauh dari sekitar rumah kok, Len! Kamu kok bisa tahu nomer baru koko?”

“Tanya sama Ci Ocha, Ko Jov dkk.Koko kenapa pulang malem mulu?”

“Koko kerja, Len” suara Aldo bergetar saat menjawab pertanyaan Lena, “gimana mock test* kamu?”

Lena mengabaikan Aldo dan malah bertanya balik, “Buat apa koko kerja, emang kita kurang duit?”

“Nggak kok,” jawab Aldo, berusaha memutar balikkan fakta namun gagal.

                “Oh God… Ko! Koko harusnya cerita dong! Kalau gini ya koko pasti diusir papa! Ko! Koko harus pulang! Kita bisa cerita ke mama barengan!”Lena berusaha membawa kembali Aldo, “Nggak usah, Len, koko gapapa kok, kamu fokus aja sama-” nasehat Aldo terpotong oleh teriakan kencang yang sangat gusar, “Eh! Bocah! Kerja yang bener! Jangan telponan mulu! Mau duit nggak sih?! Dasar! Otak dangkal aja belagu!”. “Len, koko pergi dulu, ya!”Aldo buru-buru pamit ke Lena, “Ko, itu siapa?” tuuut… telepon Lena mengeluarkan nada yang panjang, menandakan Aldo telah menutup telponnya.

Malam itu Lena berusaha untuk memberitahu tentang kondisi Aldo kepada orang tuanya, tapi mereka tidak sedikitpun percaya kepada Lena.           

                “Jangan berusaha membela kakakmu, Lena!Sejak kapan kamu belajar berbohong?Pasti anak nggak berguna itu yang mengajarimu, ya? Jangan telpon dia lagi! Anak durhaka!” bentak mama, lalu beliau jalan menuju kamar Lena dan membanting iPhone 5 Lena ke lantai yang sekarang sudah menjadi keeping-keping tak berguna.Lena hanya bisa melihat kejadian itu dengan mata penuh kecewa, amarah, dan air mata.

                Sejak hari itu, tekad Lena untuk kabur dari rumah semakin kuat tiap malam yang lewat. Akhirnya, UN SMP selesai, dan Lena lulus dengan nilai-nilai yang cukup memuaskan, duduk di peringkat ke-8 dari dua puluh tiga murid di kelasnya, dan peringkat ke-12 dari seluruh angkatan kelas IX yang berjumlah empat puluh delapan murid.

                Selama liburan musim panas, Lena bukannya pergi ke pantai atau ke mall bersama teman-temanya, namun ia tetap di rumah, menghabiskan liburannya di balik buku kimia. Anehnya, sampul buku itu bukan bertulis “Kimia Untuk Kelas IX”, melainkan untuk kelas XI.Buku itu bukan milik Lena, buku itu milik Aldo.Dilihat sekilas saja semua orang pasti tahu, coret-coretan pen biru dan stabile kuning di dalamnnya menunjukkan secara khas kebiasaan Aldo kalau belajar.

                Lena mengingat masa-masa ia masih duduk di bangku kelas VII, pertama kali ia berhadapan dengan Kimia. Dia tidak mengerti sama sekali. Untuk membuka bukunya saja sudah susah. Tidak ada orang yang mau mengajari dia, bahkan guru-guru di sekolahpun sudah pasrah.Satu-satunya orang yang begitu sabarnya sampai mengajari Lena hingga subuh, hanyalah Aldo.Saat nilai Lena hancur berantakan di kelas VIII, hanya Aldo yang mengajari dia semua yang tidak dia mengerti dengan perlahan.Hanya Aldo yang tidak memarahinya.

                Dari dulu sampai sekarang cuma Aldo yang benar-benar mengerti Lena.Cuma Aldo yang bisa Lena cari kalau dia menangis setelah dipukul Papa.Cuma Aldo yang bisa mendengar curhatan Lena tentang masalah cinta atau teman-temanya.Cuma Aldo yang bisa semua itu.

                Memang sudah lama Lena merencanakan bagaimana dia akan kabur, tapi dia sengaja menunggu hingga semua urusan sekolah selesai, seperti uang sekolah, seragam baru dan lain-lain. Lena memang pintar, tapi dia juga “licik”. Gimana cara dia membayar admission fee? Dengan uang papa mama.Kalau bukan mereka, siapa lagi?

                Pertamanya Lena bingung bagaimana caranya dia bisa tetap lanjut bersekolah tanpa guru-guru membocorkan keberadaan dia kepada orang tuanya.Ternyata dengan beberapa tetesan air mata berhasil membungkam mereka. Miss Henny, guru Bahasa Inggris Lena, menawarkan untuk tinggal bersama, tapi dia tidak bisa menyusahkan orang lain.

                Lena yang dari tadi menatap keluar jendela mengusap air matanya.Satu hal lagi yang dia benci, mengingat masa lalu.

                Jam yang menggantung di dinding Lena menunjukan bahwa sekarang sudah jam 6.30 lewat. “Mau ngapain lagi, ya?” piker Lena, “Jalan-jalan aja deh”. Lena memilih baju kasual dari lemari baju dia yang kecil, atasan putih dengan jakaet kulit hitam dan celana pendek hitam, Lena mengambil tasnya yang berwarna hitam itu dan mengecek satu kotak terbuat dari aluminum bergambar bunga-bunga merah yang berisi gaji dia selama dia berkerja paruh waktu di restoran Jepang yang kira-kira 30 menit dari apartmentnya bila berjalan, dan mengambil dua lembar dua puluh ribuan dan selembar sepuluh ribuan.

                Dengan uang lima puluh ribu di dalam tas, Lena berjalan keluar dari unit apartmentnya. Dia mulai berjalan ke night market yang berada di sekitar tempat dia bekerja paruh waktu.Entah kenapa dia berjalan menuju tempat bermain anak-anak yang selalu saja ramai.Sinar lampu neon warna warni mulai terlihat dan teriakan gembira anak-anak mulai terdengar.“Ah… tempat ini…” gumam Lena. Dia sekarang tahu mengapa kaki dia yang berbalut sepatu wedges hitam itu membawanya ke sini.

                “Koko! Mama jahat! Hwaaa!” tangis Lena yang masih berumur sembilan tahun, orang-orang yang lewat menatap anak SD itu dengan mata penuh rasa kasihan, tapi tidak ada yang mau membantu.“Lena! Jangan nangis dong! Eh, kota ke situ yuk!” ajak seorang pemuda yang memakai kemeja putih dan celana biru, ya, dia masih SMP, tetapi lena tetap saja menangis. “Nggak mau!Maunya sama koko Aldo!” seru Lena.

“Yaudah, koko panggilin ko Aldo, ya! Aldo! Aldo!!” teriak pemuda tadi dengan cemas.“Iya iya!Loh?Len?Kok nangis?! Marco! Lu apain adek gua?!”Aldo yang kewalahan mencari tissue di tasnya bertanya kepada Marco.

“Idih, kok gua? Gua nggak ngapa-ngapain! Itu tadi nyokap lu!”

“Len, mama kenapa?” sekarang Aldo bertanya kepada adiknya yang 3 tahun lebih muda darinya.

“Mama… Mama buang Gaeli! Huuu..” tangis Lena lagi.

“Aldo” bisik Marco, “Gaeli apaan?” tanyanya.

“Boneka dia,” jawab Aldo lalu berpaling lagi ke Lena, “Koko beliin boneka baru, yuk?Di situ!” ajak Aldo sambil menunjuk ke tempat yang terlihat sangat ramai dan seru.

“Hng?Mana?”

“Situ loh!” Aldo menunjuk lagi, Lena mencari-cari apa yang dimaksud Aldo, matanya melebar saat melihat lampu neon bertuliskan “Arcade” menyala-nyala.

“Wahh! Ayo! AYyo! Ayoooo!” teriak Lena yang sekarang senyum selebar-lebarnya.

“Hahaha!Yuk, koko gendong!” Aldo mengulurkan tanganya namu Lena  menoleh ke Marco.

                Lena menoleh ke Aldo lagi dan dengan muka yang masih tersenyum ia berkata, “Nggak mau! Koko jelek. Lena malu digendong koko! Maunya sama ko Marco”.  Marco yang dari tadi diam menyaksikan sekarang tertawa terbahak-bahak, “Hahaha! Do! Lu emang jelek! Adik lu aja gamau sama lu! Hahaha!”.Aldo pura-pura memasang muka sebal dan berjalan dengan pelan, “Ya sudah! Bonekanya nggak jadi ya! Lena jahat sih!”, “Ahh! Iya iya! Ko Aldo baik! Kece! Paling ganteng sedunia!” pinta Lena. “Kekeke, okay! Yuk!” Aldo tertawa melihat adiknya, dan langsung menggandengnya menuju tempat bermain yang serba silau.

                Itu sudah lima tahun yang lau, entah bagaiana kabar ko Marco atau ko Aldo sekarang. Semakin Lena mendekat dengan tempat itu, semakin jelas kenangan-kenangan yang menyenangkan sekaligus pahit itu. Lena melihat sekelilingnya, tidak banyak yang berubah. Mungkin hanya beberapa gerobak dan toko. Lena tertawa sendiri mengingat tentang pertengkaran-pertengkaran antara Aldo dan Marco. Entah itu tentang siapa yang lebih jelek atau yang lebih keren.

                Karena sudah tidak mau mengingatnya lagi, Lena menjauh dari “Arcade”. Lena berjalan tanpa mengetahui kemana ia menuju. Dan tanpa alasan dia sudah di depan “Monsoon Café”, tempat ia bekerja paruh waktu. “Oh? Lena! Bukannya shift kamu sudah selesai?” tanya Kak Celine, atasan Lena. “Iya, kak. Aku ke sini mau…” “Makan?” sahut Celine menyelesaikan kalimat Lena, “Iya, makan” ulang Lena dengan senyum kecil.

“Ya sudah, kamu tunggu sini ya, sebentar lagi ada satu meja kosong”

                “Okay, Kak.” Jawab Lena sambil jalan menuju beberapa bangku yang memang disiapkan pagi pelanggan. Setelah menunggu selama sepuluh menit, seorang pemuda mendatangi Lena. “Kayaknya dia kerja di sini, tapi… kok, mukanya familiar banget?” pikir Lena.

                “Meja untuk satu orang, kan? Silahkan ikut- Loh? Lena?” pemuda tadi berseru dengan muka yang senang sekaligus kaget, Lena membalasnya dengan tatapan bingung. Muka pemuda itu memang dewasa, tapi tetap terlihut imut. Warna kulitnya terlihat seperti ia telah berjemur di bawah matahari selama dua jam, tapi tidak terlalu hitam. “Kalau dilihat-lihat… dia mirip…” pikiran Lena terpotong dengan kata-kata dia sendiri,

“Marco?!” serunya. “Pake KO, Lena.” jawab pemuda yang ternyata Marco itu.

Comments

Comments are moderated. Keep it cool. Critical is fine, but if you're rude to one another (or to us), we'll delete your stuff. Have fun and thanks for joining the conversation!

You must be logged in to comment.

amusuk  on says about chapter 1:
awww, temen kakaknya..

ini permulaan yang bagus, jadi penasaran juga gimana kabar si Aldo.

Log in to view all comments and replies


^ Back to Top