H C N

by amusuk
Tags   indonesian   originalfiction   | Report Content

A A A A

H C N

H C N

 


Character(s): Ray, Jason, Noel, Hara, Rangbi, dll.
Genre: Sci-fi, Fantasy. 
Length: Oneshot

Rating: M (for drug using)
Loosely inspired by: EXO, karya-karya elisaexplosive dan sedikit dari "Revolution"-nya purpleskies.

Listening to: EXO - Miracles in December
Summary: Enam orang terkurung dalam sebuah pulau. Ray mengingat namun yang lain tidak. Bisikan langit pun membantunya menemukan jalan untuk pulang.
a/n: entri untuk Three Words Hall challenge di fb. Enjoy~

 

 

Di satu bulan di cincin Saturnus, seorang wanita menangkupkan tangan di bawah Pohon Kehidupan, wajahnya pucat, dahinya berpeluh, bibirnya tak henti merapal...

 


 

Kupikir langit yang bersemu dengan campuran jingga, merah muda, kuning, hijau, dan biru gelap ini menarik sekali. Biasanya langit berwarna biru, atau oranye, atau hitam; apa pun itu, langit hanya punya satu warna elok dengan gradasi perlahan untuk menuju warna yang lainnya, biasanya. Tapi tentu saja tak akan seperti yang satu ini. Ada lima warna, bahkan lebih, berpadu menjadi satu dalam satu langit.

Kepalaku yang entah mengapa terasa berat tak sanggup kuangkat. Aku kembali terjatuh ke bantal dan menerawang ke jendela di sampingku.

Bagiku langit yang seperti ini indah. Tapi aku tidak mengerti kenapa aku dapat melihat hal semacam ini? Apa aku bermimpi? Kucubit tanganku dan rasa nyeri yang nyata menyerangku, cukup untuk membuktikan bahwa aku sadar dan ini bukan mimpi. Lalu apa? Kenapa aku ada di--tempat apa pula ini? Kenapa aku terbangun di sini?

Mendadak kepalaku terasa pening, di samping berat. Begitu hebat dan mendadaknya sampai aku terjatuh dalam kegelapan lagi.
 


 

Hari ini aku bangun dan akhirnya aku sanggup untuk benar-benar bangun dari tempat tidur. Beberapa hari kemarin aku seolah tidak punya energi sama sekali untuk bangkit ataupun melihat hal lain selain pemandangan langit yang terpapar begitu saja tepat di depanku. Maka kutatap langit yang lamat-lamat mulai kuhapal. Rasanya sudah beberapa hari ini aku terus melihat langit yang begini; mereka berubah tiap waktu namun tetap berwarna-warni hingga membuatku pusing bila memandanginya lama-lama.

Aku terlalu terpana akan pemandangan langit itu, hingga melupakan di mana diriku kini berada. Aku terbaring di atas kasur keras, dalam sebuah kamar sempit dengan dinding-dinding bercat putih mengilap, atap yang sangat tinggi, jendela kecil yang tak pantas disebut jendela karena tak dapat dibuka, dan almari kecil dekat ranjang yang kutempati saat ini.

Aku mengernyit mendapati objek yang terakhir itu tergeletak begitu saja di salah satu sisi kamar yang jauh dariku. Aneh sekali benda tersebut bisa berada di tempat seperti ini. Namun yang lebih aneh lagi ialah kenyataan bahwa aku berada di sini tanpa tahu bagaimana, tanpa tahu mengapa.

Aku pun duduk. Kuhirup udara yang aneh ini, yang terasa ringan tapi tak menyegarkan. Udara ini terasa hampa melewati tenggorokanku. Setelah beberapa saat mengendus, kutatap kakiku yang terselubung selimut kusut garis-garis, terus ke atas, atas, dan ke atas, hingga aku menemukan jejak-jejak biru di lengan kananku, dan bekas lain serupa yang mulai pudar di lengan kiriku. Kusentuh jejak biru yang tampak masih baru di lengan kananku, lalu meringis kecil karena nyerinya. Lalu kurasakan nyeri yang lain di bagian leher, kuraba dan rasanya lebih sakit dari yang di lengan dan bekasnya terasa lebih besar (tidak ada cermin jadi aku tak dapat melihatnya). Setelah itu baru kusadari bahwa aku tak mengenakan baju apa pun selain celana putih panjang.

Tiba-tiba pintu terbuka dari bawah ke atas di salah satu sisi dinding yang tampak biasa. Seorang pria dengan jas putih berjalan masuk, diiringi tiga orang asisten dengan jas putih membuntutinya. Wajah pria itu kurus hingga terlihat lembah di sekitar tulang pipinya, namun tidak mampu untuk menyembunyikan ketampanan yang tersembunyi di balik wajah itu. Ya, harus kuakui, aku sedikit terpana dengan wajahnya yang begitu rupawan untuk ukuran orang setua itu, dan paling terpana akan matanya, mata coklat yang seperti lautan coklat leleh, yang seolah menghisap siapa pun yang memandangnya. Berbeda dengan milikku yang lebih seperti kaca.

Mataku tidak lepas-lepas menatap pemandangan langka ini, tidak sampai ketiga orang lainnya berdiri di dekatku saat pria itu berkata, "Pakai bajumu segera."

Kurang mampu mencerna, aku masih terduduk diam. Salah seorang asisten pria itu pun menyambar baju putih dari almari kecil dan segera memakaikannya padaku dengan tidak-begitu-lembut.

"Ikut denganku," kata pria itu lagi sambil menunjuk tembok kosong dengan tangannya

Aku digiring, didorong oleh para asistennya untuk mengikutinya lewat pintu yang tiba-tiba muncul di sisi dinding yang lain dari tadi, melintasi lorong yang berliku dan terang benderang karena lampu neon bercahaya biru muda terpasang setiap beberapa meter di dinding.

Kuberanikan diri untuk menanyakan satu hal yang sedari tadi ingin aku tanyakan, "Boleh kutahu siapa kau?"

Ketukan sepatunya yang beradu dengan lantai lumayan nikmat didengar, sedangkan aku tidak memakai alas kaki apa pun.

"Joon. Kim Joon. Ini pertama kalinya kita bertatap muka, ya?"

"Iya. Aku Ray. Shin Ray."

"Aku tahu."

"Sebenarnya kita ada di mana?"

"Kau akan tahu sendiri nanti. Kau hanya masih mengantuk setelah bangun dari tidurmu yang cuma sesaat."

Aku tidak mengantuk. Dan lagi aku tidak ingat kapan aku tidur kemarin atau berapa lama aku tertidur, tapi jujur saja badanku terasa pegal. Mungkin aku memang cuma tidur sebentar. Dan anehnya lagi, kenapa aku tidak ingat apa yang aku lakukan kemarin sampai pegal-pegal begini?

Joon berkata lagi setelah mendapati jawaban bisuku, "Mulai sekarang kita akan sering bertemu, Ray. Bersiaplah," katanya dengan senyuman.

Entah mengapa aku mendapat firasat tak enak mengenai senyum yang tidak mencapai matanya itu.

Kami tiba di sebuah ruangan kosong berbentuk bundar, kali ini semuanya berwarna logam dan kehijauan. Di tengah ada dua buah kursi dengan beberapa set peralatan di tak jauh dari sana. Ada seseorang juga. Joon menyuruhku duduk di sana, di kursi dekat seorang wanita yang mengenakan setelan coklat bahan kulit alih-alih jas putih seperti Joon. Aku pun duduk di situ sesuai kata Joon. Joon duduk di kursi satunya menghadap padaku. Dalam beberapa menit, kusadari dia memakai sebuah cincin dengan simbol yang aneh dan menarik perhatianku. Kurasakan sesuatu yang dingin dan runcing di sekitar samping-belakang leherku. Aku tidak mengerti bagian mananya dari simbol itu yang spesial, tapi aku tidak berpaling dan membiarkan leherku ditusuk oleh jarum yang cukup besar untuk membuat bekas luka yang jelek di leherku.

"Berikan laporannya di ruang 402 nanti, Cerra. Selamat bekerja."

Wanita yang dipanggil "Cerra" itu pun tersenyum dan mengangguk dengan elegan. Mataku sampai tidak ingin berpaling dari wanita itu kalau bukan karena tiga orang yang mendorongku untuk mengikuti Joon.

Kami meninggalkan ruangan itu dan berjalan lagi melintasi lorong-lorong yang serupa dengan tadi. Kali ini kami berhenti di depan pintu besar dari logam. Joon menekan beberapa tombol dan pintu itu bergeser ke masing-masing sisi, membuka jalan bagi kami untuk masuk. Aku tidak berkedip memandang lapangan luas dengan alam sekitar yang permai di sekelilingnya dalam ruangan itu. Di sana sudah ada empat orang yang berbaris mengenakan baju serupa denganku. Joon menyuruhku masuk ke barisan itu sebelum berjalan ke depan barisan, di situ ada seorang berjas putih yang lain.

Aku melirik ke samping dengan ragu, tak berani bertanya. Namun orang di sampingku tampaknya menyadari tatapanku dan seketika tersenyum ke arahku. "Hai? Siapa namamu?"

"Ray. Kau?"

"Aku Jason," lalu tanpa diminta, dia mulai menepuk orang-orang di sampingnya dan menyebutkan nama mereka satu per satu, "di sampingku ini Noel, sampingnya lagi Rangbi, lalu itu Hara. Teman-teman, ini Ray." Lalu mereka bertiga menyapaku bersamaan.

Tak lama kemudian seorang lagi datang dengan diantar pria berjas putih ketiga. Rambutnya sehitam tinta dan tatapannya menakutkan. Aku diam dan membiarkan Jason yang menyapanya lebih dahulu, baru aku membebek. Aku pun jadi tahu kalau namanya Liam, dan aku cukup kaget mendengar suaranya yang lembut dan agak lirih. Suara dan wajahnya berbanding terbalik.

Pria berjas putih yang kedua kemudian berdehem, "Baiklah, karena sudah lengkap. Mari kita mulai. Nama saya Bonggun, kalian boleh memanggil saya begitu. Rekan saya yang baru tiba ini Yura, dan yang ini Joon," katanya sambil menunjuk rekannya yang baru tiba dan orang yang mengantarku tadi. "Penjelasan lebih detail tentang apa yang akan kita lakukan hari ini akan dijelaskan oleh Yura. Silakan." Pria bernama Bonggun itu mundur dua langkah dan mengisyaratkan pada Yura.

"Baiklah, tidak perlu berlama-lama. Kita akan bermain futsal. Enam lawan enam. Lawan kalian adalah orang-orang yang kami pilih." Lalu pintu terbuka begitu saja di antara pepohonan yang ternyata hanyalah dinding -Ray pun sadar bahwa mereka tidak benar-benar berada di alam. Sebaris enam orang berpakaian hitam dengan penutup kepala yang sama sekali tidak menampakkan muka keluar dan langsung mengambil tempat di lapangan.

Yura berkata lagi, "Jadi, tunggu apa lagi?"

Kami semua pun siap di posisi masing-masing di lapangan. Bonggun, Joon, dan Yura menaiki semacam lift di samping ruangan. Lift itu naik hingga mencapai ketinggian setengah dari ruangan ini, lalu berhenti di sana.

Tidak ada wasit. Yura bilang kamera pengawas akan mengirim sinyal alarm bila menemukan pelanggaran.

Lalu soal peraturan, Joon hanya mengatakan bahwa kami boleh menggunakan kemampuan kami masing-masing, kalau bisa semaksimal mungkin agar tak ada yang mati nantinya. Kemampuan, kemampuan apa? Lagipula, futsal macam apa yang bisa membuat orang mati?

Mikrofon yang berada di bawah kamera pengawas tepat di atas lapangan, yang terpasang ke atap melalui semacam tiang dan kabel, berbunyi seperti terompet. Sepertinya itu tanda untuk memulai.

Jason yang ada di tengah bersama Rangbi pun mulai menendang bola itu dengan santai. Sedangkan lawan kami mengeluarkan semacam pedang dari sabuknya dan berlari ke arah Jason dan Rangbi. Pedang!? Apa-apaan ini. Alarm tak kunjung berbunyi, yang mana berarti hal tersebut... sah-sah saja? Gila! Apa ini yang dimaksud Joon dengan menggunakan kemampuan? Tapi aku tidak punya kemampuan apa-apa. Kulirik mereka bertiga di atas sana, Joon menatapku dengan ekspresi biasa. Sama sekali tidak menjawab kebingunganku.

Saat melihat ke depan, tahu-tahu orang berbaju hitam itu sudah di depanku dengan bola, yang dengan cepat dioper ke kiri. Tapi orang itu terus melaju, dengan pedang terangkat dan... SRET!

Aku sudah berusaha menghindar, tapi pedangnya menggores sedikit lengan bawahku, tidak dalam, namun perih. Ternyata itu pedang sungguhan, setidaknya sekarang kami benar-benar yakin kalau pedang itu bukan mainan, lebih-lebih pertandingan ini, sama sekali bukan main-main.

Para pemain lawan yang sudah melewatiku pun menendang bola itu ke gawang dengan keras. Aku melotot. Tidak mungkin tendangan sekeras itu--

Sssshhh...

Bola itu melesak ke dalam sejenis barier air, lalu barier itu lenyap, airnya jatuh ke rumput, menyisakan bola yang basah. Aku memandang tidak percaya pada Hara yang jadi kiper kami.

“Bagaimana bisa?”

Dia mengangkat bahu, “Aku sendiri tidak tahu. Tahu-tahu saja muncul saat ingin menahan bola yang melesat penuh kekuatan penghancur.”

Aku melirik pada keempat temanku yang lain. Dan tampaknya kami pun sama-sama mendapatkan pengertian. Bahwa kami benar-benar mempunyai kekuatan.

Aku tidak tahu apa kekuatanku. Jadi saat melihat bola yang masih tergeletak tak diambil oleh Hara, aku ingin mengambilnya dan melarikannya ke gawang lawan, tapi jaraknya jauh dariku. Namun kemudian, bola itu terangkat, aku kaget untuk yang kedua kalinya dan tanpa pikir panjang, aku langsung menoleh ke gawang lawan. Masuk. Bola itu melesat ke gawang dengan telak. Mikrofon berbunyi peluit, tanda kami telah mencetak satu skor.

Apa ini kekuatanku?

Mendadak rasa optimis pun menyala dalam ragaku. Kami pasti bisa mengalahkan orang-orang berbaju hitam itu.
 


 

Hari ini aku terbangun menatap langit aneka warna. Lagi. Kukerahkan tenaga untuk bangun dan duduk, mengamati tempat di mana aku berada kini. Kamar ini masih sama.

Aku masih tidak tahu mengapa benda itu berada di kamarku, tapi kemudian, pintu yang tiba-tiba muncul di satu sisi dinding mengalihkan perhatianku.

Yang terjadi berikutnya sama seperti yang sudah aku duga. Pria itu, Joon, muncul dengan tiga pria lain. Lalu aku dibawa ke ruangan bundar tempat Cerra berada, ke lapangan besar, bertemu dengan kelima orang temanku dan beraktivitas bersama mereka. Apa pun bentuknya, kegiatan kami pasti membuat Jason mengerahkan kemampuannya mengendalikan api dari tangannya, Noel dengan kekuatan petirnya, Rangbi dengan kekuatan anginnya, Hara dengan kekuatan airnya, dan Liam dengan kendalinya terhadap waktu.

Yang aneh dari semua ini, hanya fakta bahwa kelima temanku seolah tak ingat bahwa kami pernah berkenalan kemarin sehingga mereka terus memperkenalkan diri setiap hari. Mereka hanya ingat bagaimana menggunakan kemampuan mereka dalam setiap jadwal latihan kami.

Lalu aku kembali ke ruangan bundar untuk disuntik. Hanya saja, kali ini Cerra memberitahukan sesuatu yang tampaknya sangat penting selagi aku duduk di kursi sebagaimana biasanya.

"Ada anomali tentang hasil tes darah Ray pagi ini, Profesor," ujar Cerra seraya menunjukkan gambar grafik yang tak terlihat olehku. Joon tidak bereaksi apa-apa. Cerra pun meneruskan, "Prof, kurasa kita harus mengurangi dosisnya--"

"Tidak."

"Tapi--"

"Kita tidak akan tahu hasilnya kalau tidak sampai akhir. Apa pun itu, kita harus mengetahuinya. Itu akan jadi bukti penting untuk kelanjutan semua yang telah kita lakukan ini."

"Tapi aku tak mau mereka kenapa-kenapa."

"Oh, sekarang kau mulai sentimentil?"

"B-bukan begitu," suara Cerra mulai terdengar putus asa. Melihat Joon tidak membalas kali ini, Cerra pun berkata, "Mereka... tak berbeda jauh dengan manusia, sama seperti kita, bukan?"

Hal yang tak kuduga berikutnya yakni, Joon melayangkan tangannya pada Cerra. Begitu keras hingga Cerra jatuh terduduk dengan pipi merah sebelah. Kurasakan darahku memanas melihatnya.

"Jangan. pernah. samakan aku. dengan makhluk ini," ucap Joon tajam sambil menunjuk ke arahku.

Lalu ritual yang biasa pun terjadi, cukup untuk menahan kemarahanku. Cerra menyentuh leherku dan menyuntikkan campuran sesuatu yang berwarna hitam ke leherku, kali ini dengan wajah yang keras, tanpa keramahan yang biasanya terpancar walau dia tak sedang tersenyum. Setelahnya, Joon membawaku kembali ke kamar tanpa satu patah kata pun.
 


 

Hari ini aku bangun dan menemukan keganjilan pada kamarku. Satu sudut ruangan tampak terlalu tinggi, sudut satunya lebih rendah, jadinya timpang. Bingkai jendela di sampingku tak lagi berbentuk persegi yang sama sisi, melainkan persegi yang tak beraturan. Kupandangi tanganku. Tak jauh beda kondisinya, tanganku tampak seperti ditarik di beberapa bagian. Rasa nyeri di lenganku masih kentara. "Kh, apa-apaan ini?" gumamku. Pening melanda kepalaku, rasanya seperti de javu, lalu nyeri mengantarku ke alam mimpi.

Aku berdiri di rerumputan sebuah bukit dengan sebuah pohon besar yang bercabang dua tumbuh di tengahnya. Angin berhembus seolah menuntunku untuk menuju ke pohon itu. Semakin dekat, semakin dekat. Samar dapat kulihat seorang wanita dalam jubah putih panjang yang anggun berdiri di sana. Tubuhnya tembus pandang, tapi aku masih dapat melihat gurat kecantikan di wajahnya. Wanita itu mengulurkan tangan ke arahku, menyuruhku mendekat.

"Siapa dirimu" adalah hal yang ingin aku tanyakan namun yang keluar dari mulutku ialah, "Ibunda..."

Beliau tersenyum, "Ray, Putera Ketujuh. Senang melihatmu di sini. Kuharap kau baik-baik saja." Beliau membelai rambutku, belaiannya terasa begitu rapuh di kepalaku.

"Aku baik. Tapi..."

"Aku tahu apa yang terjadi. Dan kau adalah pemegang kekuatan telekinesis, kau tahu apa efek sampingnya, bukan?"

Aku mengangguk.

"Panggillah mereka, saudara-saudaramu. Pulang kemari saat kalian telah berkumpul," katanya, diiringi dengan retakan di wajahnya. Retakan-retakan tersebut bertambah banyak dan luas.

Aku membelalak melihat wanita tersebut seakan hancur perlahan menjadi serpihan-serpihan cahaya. "Ibunda! Apa yang terjadi padamu?"

"Ibunda" terus tersenyum seraya berkata, "Cepatlah pulang."

Saat aku berusaha meraihnya, yang kulihat malah pemandangan langit dengan semburat warna. Tidak. "Tidak!"

Aku tidak dapat menemukan sosok wanita itu di mana pun. Yang ada hanyalah sudut-sudut kamar yang terus terdistorsi, dan segenap pertanyaan di benak. Pening masih melandaku tanpa ampun hingga terasa mual. Namun yang aku ingat baik-baik, aku harus memanggil semua teman-temanku, atau saudara-saudaraku menurut Ibunda. Namun saat aku akan memfokuskan diri, pintu terbuka dari sisi dinding dan seseorang keluar.

Kali ini Joon tidak sedang bersamanya, hanya dia, seorang asisten yang tak kukenal. Dia membawaku ke ruangan bundar dan mengawasi di sudut ruangan alih-alih duduk di depanku. Sudah beberapa hari ini Joon jarang terlihat kecuali di tempat latihan. Aku jadi punya waktu yang lebih santai dengan Cerra—dan asisten Joon.

"Cerra-ssi," ujarku.

"Ya?"

"Apa ini sebenarnya?"

"Maksudmu ini? Ini vitamin khusus yang bisa bercampur dengan darahmu. Kau tahu kan darahmu tak seperti darah manusia."

Yah, darahku memang hitam pekat dan darah manusia merah cerah.

“Cerra-ssi, dari dulu aku penasaran,” kulihat Cerra masih merapikan botol-botol kecil berisi pil-pil di sana, tampaknya tidak mendengarkan. Aku pun bangkit dan berjalan ke arahnya.

“Tetap di tempatmu, Ray.” Untuk pertama kalinya aku mendengar dia bicara.
“Tidak apa-apa, Shinwoo-ssi,” kata Cerra dengan tenang. Tampaknya asisten Shinwoo satu ini cukup segan juga dengan Cerra dan tidak banyak berkata lagi.

Kuperhatikan botol yang sedang dipegang Cerra. Botol itu berlabel... LSD. Aku tidak mengerti nama obat-obatan jadi kuabaikan saja.

“Mm, kenapa langit di tempat ini berwarna-warni?”

Cerra seketika terhenti. Dan kepalaku mendadak pening lagi. Akhir-akhir ini kepalaku semakin sering pusing. Tiba-tiba Cerra yang ada di hadapanku tidak seperti Cerra yang aku kenal. Rambutnya ke mana-mana dan tidak lagi berwarna coklat melainkan warna-warni itu lagi. Aku mundur perlahan.

“Shinwoo!” teriak Cerra yang segera mundur dan mengambil sesuatu dari laci. “Borgol!”

Aku tidak mengerti apa yang tengah terjadi, tapi instingku berkata bahwa ini gawat. Aku lari ke pintu keluar. Shinwoo menghalangi namun tanpa susah payah aku berhasil menyingkirkannya dengan pikiranku semata. Berikutnya pintu yang terkunci. Butuh waktu beberapa detik untukku menganalisis bagian-bagian pintu yang kuhapal itu, dan di detik berikutnya, baut-baut berputar keluar dari engselnya dan membiarkan pintu besar itu roboh dari ambang logamnya. Tanpa pikir dua kali aku berlari lagi.

Aku tidak berpikir selama berlari karena jalan di hadapanku seolah bergelombang dan berbelok di saat aku tengah berlari lurus menembus itu semua. Pusing. Apa yang terjadi dengan tempat ini. Dindingnya seolah cembung di satu sisi dan cekung di sisi lain. Ini tak masuk akal!

Tak berapa lama, aku tiba di suatu koridor di mana aku bisa merasakan angin. Angin... pertanda ada jalan ke dunia luar. Tiba-tiba alarm berbunyi memenuhi seluruh penjuru bangunan. Jadi aku berlari ke arah sumber angin itu dan sampailah aku di semacam balkon yang ada di tembok luar bangunan. Derapan-derapan sepatu Cerra dan Shinwoo mulai terdengar. Mereka tidak jauh di belakangku. Semakin dekat, semakin dekat, kulihat Cerra mengarahkan benda panjang... sebuah pistol, tepat ke arahku. Saat kulihat peluru panjang yang ditembakkan melesat, aku nyaris akan menggunakan kekuatanku kalau bukan karena balkon yang tiba-tiba turun, membuatku hampir terjungkal ke belakang. Oh, mungkin ini sama dengan lift di ruang latihan, tempat Joon, Bonggun dan Yurao mengawasi. Seturunnya dari lift itu, aku berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi-bunyi mencurigakan seraya berjalan terus dengan naluri. Hal baru yang kulihat hari ini adalah... dermaga dan laut. Peningku berkurang, warna-warni di langit mulai samar dan lamat-lamat dapat kulihat warna jingga lembayung. Kuamati orang-orang yang tampaknya sedang sibuk mengangkuti barang-barang ke kapal raksasa dengan alat berat. Ada berbagai macam benda-benda besar dan aneh yang dipindahkan dengan sangat hati-hati. Ini seperti orang yang ingin pindah rumah saja, bedanya hanya, ini bukan rumah yang dipindahkan, melainkan laboratorium. Aku berjalan lagi mengitari bangunan besar, terus hingga melintasi bebatuan yang curam dan mendengar suara ombak menerjang.

Jadi selama ini aku berada di...

DOR!

Tiba-tiba nyeri meradang di pundakku. Saat berbalik, kulihat Cerra dan Shinwoo, serta beberapa orang dalam pakaian hitam telah tiba. Sesaat kemudian, aku bisa mendengar suara tapak langkah mereka di sekelilingku, sebelum warna hitam mengambil kesadaranku tanpa permisi.
 


 

Aku tidak tahu apakah aku tengah berada di dunia nyata atau dalam mimpi, sebab kali ini aku melihat barisan bukit yang berwarna kuning. Salah satu bukit memiliki pohon bercabang dua yang mencolok. Tempat ini... sama seperti dalam mimpiku di waktu lalu, hanya saja kali ini tak kudapati kehadiran sang Ibunda. Maka kali ini aku yang berlutut di bawah pohon ini. Mungkin ini satu-satunya kesempatanku untuk memanggil mereka.

Memfokuskan diri sepenuhnya, aku duduk bersimpuh, menunduk, dan menadahkan kedua tangankudi depan dada. Tiap syaraf dalam kepalaku berdenyut. Biasanya mereka kugunakan untuk telekinesis, bukan untuk memanfaatkan efek sampingnya ini. Memang efek sampingan ini berguna, namun menguras begitu banyak energi hingga nyaris tak bersisa bila dilakukan. Dan sekarang aku melakukannya terhadap lima orang yang entah berada di mana.

Mataku tertutup, namun di hadapanku aku melihat bangunan tempat aku tinggal selama berminggu-minggu lamanya. Kemudian menyusuri satu per satu jalan di sekitarnya, mencari jejak keberadaan saudaraku. Tidak sulit menemukan mereka karena... yah, kami berbeda. Gambar berikutnya yang kulihat adalah mereka yang terbangun.

Peluh panas mulai menetes padahal aku baru melakukan ini. Kutahan segenap kekuatanku untuk menyampaikan pesan.

"Teman-teman, saat kalian melihat ini, kalian akan tahu siapa diri kalian dan apa yang harus kalian kerjakan." Kutunjukkan pohon di tengah bukit ini. Inilah Pohon Kehidupan, jiwa kami.

Kulihat wajah mereka menampakkan sebuah pengertian. Melihat itu membuatku lega dan akhirnya kekuatan ini berakhir. Kegelapan kembali meraupku, membawaku entah ke mana lagi.
 


 

Kali ini aku tidak melihat apa-apa di ruangan serba abu-abu ini. Aku tidak yakin bila ruangan itu berbentuk persegi atau segilima atau mungkin segi dua-belas. Karena warna-warna ini masih menggantung di pandanganku, bedanya kali ini hanya warna ini disertai semacam kabut putih. Kemarin warna putih tidak ada selain dari warna baju yang kukenakan. Kupikir itu hanya salah satu dari distorsi penglihatanku, jadi kuabaikan saja.
 


 

Di saat yang sama Cerra sedang memonitor kondisi Ray yang tetap stabil.

“Tidakkah kau pikir ini aneh, Shinwoo-ssi?”

“Bagian mananya?”

“Ray... Saat dia mengatakan itu kemarin, berarti LSD yang kita suntikkan dua jam sebelumnya memberi pengaruh, kan? Tapi lihat,” Cerra menunjuk ke arah hasil rekam jejak kondisi Ray selama ini, “tidak ada yang berubah dari kondisi tubuhnya. Bagaimana mungkin?”

“Kalau memang begitu, yah, salahkan itu pada ras mereka. Kau harus ingat mereka bukan manusia walaupun memiliki metabolisme yang serupa. Mereka cuma alien.”

“Jawabanmu sama sekali tidak membantu.”

Sebelum mereka sempat berdebat panas lagi, Shinwoo mengendus udara yang terasa aneh.

“Cerra, bau ini?”

Cerra mencium sekilas, sebelum menutup hidungnya dengan lengan jaket. “Celaka! Kenapa di saat seperti ini?”

“Bukannya benda ini tidak bisa diaktifkan sembarang orang?”

Cerra mengangguk, “Tapi itu tidak mungkin! Orang itu masih ada di sini. Aku kenal dia dan dia tak mungkin bunuh diri.”

“Baiklah kalau begitu ayo kita cek ke atas.” Dengan begitu Shinwoo bersiap-siap.

“Tunggu! Kita bawa Ray juga. Dia tak mungkin ditinggal di sini.”

“Wah wah, kau baik hati sekali,” ujar Shinwoo datar.
 


 

Tiba-tiba ruangan ini jadi terang, lalu kulihat Cerra yang wajahnya pucat di pintu. Wajahnya tidak begitu jelas di mataku, tapi aku tahu dia Cerra.

“Cepat bangun dan ikut denganku!” perintahnya. Aku merasakan adanya hal yang gawat dan berusaha untuk bangun dengan cepat.

Kami keluar dan di dekat pintu keluar sudah ada Shinwoo.

“Ayo! Tunggu apa lagi?”
 


 

Aku masih tidak mengerti situasinya. Dan aku masih merasa pusing. Kalau bukan karena Shinwoo dan Cerra yang berlari di depanku, aku tidak akan sanggup berlari lurus karena dunia seolah bergoyang di sekitarku.

Semakin lama, semakin lama, kami tiba di dekat ruangan yang berdinding kaca. Kulihat di tengah sana ada... Joon? Dan dari sela-sela ruangan ini, kulihat asap bermunculan dengan cepat.

“Jangan dihirup!” teriakan Cerra jelas terdengar. “Profesor!”

Shinwoo yang melihat asap itu pun kalut. “Cerra-ssi, kita tidak bisa... kita harus lari sekarang atau tidak akan ada yang bisa...”

“Profesor di dalam sana!” teriaknya.

Maka aku yang bertindak, kutarik lengan Cerra, memaksanya berlari. Shinwoo mengangguk ke arahku, untuk pertama kalinya, dan mulai berlari juga.

“Bom asap ini akan meledak dalam hitungan menit setelah tombol merah ditekan, kita masih punya waktu untuk bersembunyi di bawah tanah untuk beberapa hari hingga asapnya menghilang,” itu penjelasan singkat dari Shinwoo.

Cerra yang melihat Joon masih terdiam tak bergerak sementara asap mematikan itu terus menyebar dan siap menggerogoti makhluk hidup yang disentuhnya, segera berbalik lagi, mengabaikan Ray dan Shinwoo.

"Profesor!"

Ray berhenti dan menoleh, "Cerra-ssi! Jangan ke sana!"

Cerra tetap berlati ke arah sang profesor. "Profesor Joon!"

Uh oh. Asap itu tidak terelakkan, dan seberapa inginnya pun Ray berusaha untuk mengendalikan asap--yang telak membutuhkan segenap kekuatan untuk mengendalikan tiap partikel gas beracun itu--sama saja dengan mencari jejak dalam air. Ray berbalik secepat kilat. Dia tak peduli. Terus berlari dan berusaha melindungi Cerra yang tengah berusaha menyelamatkan profesor yang tak terselamatkan lagi itu.

Dalam sekian milidetik, getar angin yang dahsyat menghempas seluruh wilayah pulau, menciptakan ombak-ombak tinggi di lautan sekitarnya. Anginnya terasa hingga ke pulau utama.
 


 

Duduk di atas sebongkah batang kayu yang telah putih, Noel mengakhiri panggilan pentingnya dengan seseorang di pulau utama sebelum kembali memandang lautan di hadapannya.

"Hyung," seseorang di belakang Noel berujar di antara desing kesunyian. Noel tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang memanggilnya dengan sebutan itu. "Ray-hyung..."

"...Ya. Seperti yang kauketahui sendiri," Noel menenggak ludah, "dia tak akan kembali dengan kita, Liam."

Air mata seketika menggenang hebat di mata pemuda berambut sehitam tinta itu, mengalir bebas dari kedua mata tanpa ada yang akan mengusapnya lagi. Dialah pemuda berhati paling lembut di antara semuanya.

"Sebentar lagi. Sebentar lagi, Liam...," Noel menarik napas pada udara pekat, "kita akan pulang."

Liam masih terus sesengukan. Di antara kelima orang yang lain, walau dia tampak mengintimidasi di awal, namun sesungguhnya dialah orang yang berhati lembut.

Sekarang mereka hanya bisa menunggu hingga gerhana bulan berikutnya tiba.
 


 

Di suatu jalanan daerah pinggiran yang sepi, sebuah limosin melaju kencang. Ada tiga orang di dalamnya. Sang supir, seorang profesor dan asistennya.

"Mm..." Asisten itu bergumam tak yakin.

"Spit it out," kata sang profesor.

Setelah mengumpulkan keyakinan, asisten tersebut pun berkata, "Boleh aku bertanya sesuatu, Tuan?"

"Apa itu, Hara?" profesor itu tersenyum senang melihat asistennya nampak segan padanya.

"Tuan Joon, mengapa anda meledakkan pulau itu?"

Joon tertawa, "Yah, pulau itu memang pantas diledakkan. Kami sudah mendapatkan hasil yang kami cari, apa yang dibutuhkan untuk memicu kekuatan mereka. Lagipula alien seperti mereka tidak pantas menjejaki bumi ini.”

Hara tidak berkata apa-apa. Sejenak kemudian, dia mengeluarkan topeng masker khusus dan memakainya.

“Kau... apa-apaan itu?” Joon mengernyit heran.

“Hmm, cuma ingin kau tahu, bagaimana rasanya ada di tengah kepulan hidrogen sianida yang kau picu sendiri.” Hara membuka pintu limosin di sebelahnya dan berteriak, “Jason!”

Sang supir lalu membuka pintu dan saat mereka sudah turun dari limosin itu, ledakan tak terelakkan terjadi membuat kedua orang itu bersembunyi di balik batu sebelum ber-high five.
 


 

Di satu bulan di cincin Saturnus, lima orang pria menangkupkan tangan di bawah Pohon Kehidupan, wajahnya tunduk, bibirnya tak henti merapal...

Di hadapan mereka berdiri dua buah makam. Yang satu masih baru, satunya lagi seperti artefak.

 


 

a/n: ini pertama kalinya saya mencoba membuat layout sendiri dengan coding, lumayan asik ^^ dan sebenarnya ini juga entri challenge di fb untuk menulis cerpen dalam waktu tiga hari, jadi saya tahu cerita ini masih jauh dari sempurna dengan plot hole bertebaran, karakter kurang dalam, dsb. but this is it what i've gotten. haha,

don't forget to leave a comment~


 


 

 

 

Comments

Comments are moderated. Keep it cool. Critical is fine, but if you're rude to one another (or to us), we'll delete your stuff. Have fun and thanks for joining the conversation!

You must be logged in to comment.

There are no comments yet for this story.

Log in to view all comments and replies


^ Back to Top