Dunia yang Kau Impikan

by amusuk
Tags   gunnhildr   indonesian   | Report Content

A A A A

 

Title: Dunia yang Kau Impikan 

Fandom: Gunnhildr

Character(s): Kuraginn, Kurewa.

Rating: T

Genre: Friendship/Brothership

Disclaimer: I don’t own Gunnhildr. Gunnhildr©MazJojo. No profit made from this fictional work.

Warning: a little bit fluff!

a/n: Hello, this is my second fanfic for FFO, and coincidentally my second too on fb, haha, I cross-posted it (...again). I decide to write a fanfiction of an Indonesian comic I’ve ever read, and still like it very much up till now, entitled “Gunnhildr”. And I’m gonna post this in Indonesian. Enjoy~!


 

 

 

“Seandainya kamu ada di sini saat ini, akan kupersembahkan dunia yang baru ini untukmu!”

 

 

 

 

 

 

 

 

Dunia yang Kau

Impikan

by amusuk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

            Kurewa Hangard, 20 tahun, putera dari Raja Klan Kaurava, berdiri di atas balkon Istana Kerajaan Kaurava. Ia memandang jauh ke langit sore biru yang berbaur dengan warna kuning mentari. Sebuah nama seseorang yang pernah sangat dekat dengannya terdengar dari mulutnya.

“Kuraginn....”

Itu nama pengawal setianya. Mungkin tak akan ia temukan lagi pengawal yang sama setianya seperti dirinya, mau bertempur bersamanya walau mempertaruhkan diri antara hidup dan mati. Ia masih ingat, dua tahun lalu, yang entah kenapa terasa jauh-jauh lebih lama dari sekedar angka dua, mimpi yang pernah Kuraginn katakan padanya di hari-hari tenang mereka di kota pusat kekuasaan Klan Kaurava, walau dunia di luar itu tengah terancam perang.

“Aku ingin menjaga agar dunia ini terus damai selamanya.”

Mimpi yang waktu itu ia pertanyakan keanehannya, dan tidak butuh waktu lama pula, ia pun setuju dengan mimpi Kuraginn, orang yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri itu.

Kurewa masih menatap langit sore yang sebening kaca itu lekat-lekat. Walau pikirannya tak sedang berada di sana. Teringat akan kenangan-kenangan masa kecilnya.

 

+++

 

Waktu itu Kurewa yang berusia sebelas tahun dan Kuraginn yang berusia delapan tahun tengah membaca di perpustakaan. Hari ini mereka belajar tentang berhitung. Kuraginn melihat sang pangeran tampak tenang menggerakkan penanya di atas kertas.Diliriknya isi kertas itu. Doodle.

Kuraginn kembali ke posisinya dan lanjut mengerjakan soal-soal hitungan yang diberi oleh guru mereka. Kurewa tersenyum menahan tawa. Sebenarnya guru Kurewa, namun karena Kuraginn kemana-mana selalu bersamanya, akhirnya dia diizinkan untuk ikut belajar juga daripada sekedar menunggu dimakan bosan.

“Tunggu tunggu tunggu, jumlah batu-batu ini, kalau dibagi empat untuk membangun empat sisi tembok, kenapa hasilnya tidak bulat, ya?” Kuraginn meletakkan tangan di dagu, lalu mengoret-oret di kertas buram. “Oke, berarti ada batu yang tersisa dari pembangunan itu!” serunya senang. Kurewa meliriknya dari balik tumpukan buku. Kuraginn masih asyik bergumul dengan soal hitungannya.

Lalu, entah karena soal macam apa lagi, Kuraginn merengut dalam, dalam, pipinya menggembung lucu, bibirnya mengerucut, dahi berkerut-kerut seolah tengah memikirkan nasib negeri ini, membuat Kurewa gemas. Kurewa pun mendekati adiknya yang terlampau konsentrasi itu.

“Hei, kau tidak perlu menyelesaikan semua soal-soal di sana. Toh, mustahil kau akan jadi ahli berhitung,” kata Kurewa sambil mengamati pekerjaan Kuraginn.

Kuraginn manyun.

“Oke, oke. Aku akui pekerjaanmu bahkan lebih baik dari punyaku padahal aku lebih tua, haha. Kau memang pintar, Kuraginn!” kata Kurewa lagi sambil menepuk bahunya pelan. Kuraginn hanya menunduk malu mendapat pujian dari Tuan Mudanya.

Kurewa merasa seperti seorang kakak yang sebenarnya.

 

+++

 

Lepas tengah malam, Kuraginn terbangun dari tidurnya. Ia sudah berumur sepuluh tahun sekarang. Bukan masanya lagi menangis karena mimpi buruk. Tapi... apa boleh buat, mimpinya jauh lebih buruk dari mimpi buruk dalam bayangan.

Awal mimpinya sama dengan kejadian pagi tadi, ia bersiap-siap mandi, ganti baju, merapikan rambutnya yang tidak mau rapi, lalu bergegas ke aula istana. Sang raja akan mengunjungi sebuah panti asuhan milik kerabatnya, sang pangeran pun diajak, otomatis Kuraginn pun ikut.

Setibanya di sana, para anak-anak pun bermain bersama penghuni panti, mengikuti kegiatan-kegiatan di sana. Belajar membaca,berhitung, semua yang sudah pernah Kurewa dan Kuraggin pelajari di istana. Tibalah waktu tidur siang, Kurewa yang tidak terbiasa tidur di siang hari pun menggeliat tak nyaman di atas karpet hangat yang digelar di ruang tengah, bersama dengan seluruh anak-anak lainnya. Kuraginn yang juga tak terbiasa tidur siang pun membuka mata. Kurewa menoleh ke arahnya.

“Ugh, rasanya benar-benar tidak enak, tidur saat kita belum mau tidur,” kata Kurewa. Kuraginn mengiyakannya. “Hei, bagaimana kalau nanti malam aku ke kamarmu? Sambil bawa karpet, selimut tambahan, lalu kita tiduran di lantai seperti ini.”

“Oo, benar boleh? Tuan mau datang ke kamar hamba yang kecil itu?”

Kurewa menyentil keningnya dengan jari tengah. Kuraginn meringis menahan sakit, kekuatan pangeran memang tidak main-main, ia bisa merasakan dahinya akan merah sampai besok. Ia tidak suka dipanggil dengan embel-embel kerajaan.

Hm, setelah dipikir-pikir lagi, Kuraginn sekarang lupa dari mana mimpinya mulai memburuk. Seingatnya, ia terbangun dengan perasaan mencekam di padang rumput di dataran tinggi, ia bisa melihat nyala cahaya dari kota dari tempatnya. Setelah dilihat-lihat lebih baik, rupanya yang ia lihat bukanlah lampu kota, melainkan api. Melalap habis seperempat wilayah kota yang ia sendiri tak tahu namanya.

Tiba-tiba ia menemukan dirinya sudah berada di pinggiran kota yang teraup api itu. Di sana ramai sekali suara teriakan para penduduk yang lari menyelamatkan diri, suara prajurit-prajurit memberi komando. Lalu, ia melihat seorang ibu-ibu keluar dari bangunan yang separuh terbakar, lalu ibu itu berteriak dengan kasar, lalu menarik sesosok tubuh kurus kecil yang tidak jauh beda dengan dirinya ditarik ke pelukan ibunya, lalu mereka berlari. Ia menatap mereka berdua lama sekali.

Prajurit-prajurit bertanduk domba dengan pakaian hitam-hitam tiba-tiba muncul dan berbaris di sekitarnya. Kuraginn mengkerut di tempat. Apa yang akan terjadi padanya? Kenapa mereka semua mengacungkan senjata ke arahnya? Apa salahnya? Ia melihat gerakan seseorang yang menarik pelatuknya dan...

Kuraginn terbangun. Ia melihat ke kanan-kiri. Kamarnya masih gelap, ia ada di atas ranjang dengan selimut tipis dan piyama biru bergambar kucing. Mana Kurewa? Katanya dia akan datang. Kuraginn benar-benar tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau dia tidak bangun dari mimpinya. Apa mungkin seseorang bisa mati dalam mimpi? Lebih-lebih, sang pemimpi itu sendiri. Hush, ia menghapus pikiran ngawurnya.

Kemudian ia mendengar suara ketukan di jendela. Ia biarkan sejenak, ketukan itu tidak berhenti juga. Kuraginn pun bangkit dan berjalan ke jendela. Di sana, ada Kurewa. Lengkap dengan karpet tebal, selimut besar nan tebal, piyama motif kerang, dan topi tidur yang kebesaran dan miring di kepalanya saking besarnya.

“Ou, kau menangis?” tanyanya dengan mata lebar.

“Eh, tidak. Aku... cuma kelilipan,” katanya dengan parau seperti orang baru bangun tidur.

Kurewa diam sejenak, lalu mengedikkan kepala. Ia pun masuk lewat jendela yang dibukakan Kuraginn dan tanpa ba-bi-bu menggelar karpet dan selimut di atas lantai sementara Kuraginn menutup jendela dan menarik selimut dari ranjangnya.

“Selesai! Nah, ayo ke sini!” Kurewa segera masuk ke dalam selimut hangatnya. Kuraginn yang melihatnya langsung menarik bantal dari ranjang dan melemparinya. Ditangkap dengan sukses.

Kuraginn masuk ke dalam selimut. Wuoo, ternyata tidur di lantai bisa sehangat ini ya, pikirnya. Kurewa mulai berceloteh macam-macam, mulai dari kunjungan tadi pagi, hingga peristiwa di malam hari. Ia minta maaf terlambat karena tadi ia harus menunggu dan mengendap-endap keluar kamar karena ayahnya masih di aula kerajaan dan baru masuk ke kamar saat nyaris tengah malam. Padahal, Kurewa mesti melewati aula jika ingin ke kamar Kuraginn. Kuraginn mengangguk.

Puas bercerita, mata mereka terasa berat. Kuraginn tidur ke arah berlainan dengan Kurewa. Insting naturalnya tidak ingin siapa pun melihat wajah tidurnya. Lalu Kurewa berbalik ke arah Kuraginn dan melingkarkan tangan di perutnya, niatnya bercanda menganggapnya guling. Lalu Kurewa berbisik, “Lain kali jangan nangis sendirian di kamar, ya.”

Kuraginn terkejut. Kurewa melanjutkan, “Pokoknya besok kita main yang banyak, main bajak laut, main sembunyi-sembunyian, main....” Kurewa menguap. Tangan Kurewa yang semula di perut, kini beralih menggenggam tangan Kuraginn dengan tenaga yang cukup, tidak berlebihan. Kurewa ingin menghabiskan waktunya dengan sahabatnya, adiknya, pengawal setianya ini, lebih banyak lagi.

Kurewa tidak menyadari Kuraginn tersenyum. Bahwa sejenak ia lupa dengan mimpi buruknya. Yang ada di pikirannya hanya besok main apa atau main ke mana saja bersama Tuan Muda di sebelahnya ini.

 

+++

 

“Tuan Muda Kurewa!” Suara yang selalu menghiasi berbagai pengalaman di hidupnya kembali terdengar. Sekarang suara itu mulai serak, tanda-tanda usianya mulai menginjak remaja. Ya, Kuraginn kini sudah dua belas tahun, sementara Kurewa lima belas.

Kurewa menggumam malas dari posisi tidurannya di rerumputan saat ini. Hening kembali.

“Baginda raja memanggil, Tuan Muda...,” Kuraginn tak menyerah, “Tu—”

“Kalau kau tidak diam juga, aku akan menghukummu dengan memanggilku “kakak~”,” tegasnya.

“K-Kurewa!” Kuraginn langsung berdiri tegak dan memanggil sang pangeran dengan namanya langsung. Yah, meski ia menyayangi temannya sedari kecil ini dan sudah menganggapnya seperti kakak kandung sendiri, dan meski Kurewa memang lebih tua tiga tahun darinya, Ia lebih sudi memanggil namanya dibanding panggilan “kakak” yang terdengar menjijikkan. Bertahun-tahun bersama layaknya teman sepantaran, tentu saja ia risih. Kurewa berguling menahan tawa melihat reaksinya. “Baginda—”

“Ya, ya, aku dengar. Pasti bukan panggilan penting, kok. Tenang saja, Kuraginn. Bagaimana kalau kita pergi Kedai Nirvana?” ajaknya. “Ayo, kau harus mau. Lalu kita bisa adu panco lagi!” serunya.

Kuraginn geleng-geleng kepala melihat tingkah orang yang disebut-sebut sebagai putera mahkota Raja Klan Kaurava. Tapi, demi bersama kakaknya, ia pun mengikuti langkah menuju sebuah kedai minum yang mulanya adalah milik teman-temannya.

Hingga sebuah panggilan darurat tiba dan mereka segera dipanggil menghadap sang raja. Katanya, mereka akan menghadapi Sang Raja Demitrous, Dorias. Dengan tekad bulat, Kurewa dan sang pengawal pun berangkat bersama pasukan kerajaan.

 

+++

 

Tak disangka itu akan jadi hari terakhirnya melihat Kuraginn dalam hidupnya. Kuraginn yang datang menolongnya di pertempuran melawan Dorias, Kuraginn yang menolongnya karena ia temannya, Kuraginn yang... memohon padanya untuk menyelamatkan dunia dari perang.

Kurewa sudah berusaha keras. Wilayah kekuasaan kegelapan, Demitrous, telah berkurang, digantikan perdamaian yang dibawa Klan Kaurava, walau belum bersih betul, tapi ia yakin bisa mengantarkan kata damai ke seluruh penjuru benua.

“Hei, Kuraginn. Dunia yang kau impikan sedang dalam proses. Aku sudah janji, kan, bahwa aku akan menciptakan dunia yang damai untukmu. Walau kau tak di sini, tapi itu janjiku selama aku masih bernapas.”

Dengan itu Kurewa tersenyum dan melangkah masuk ke istana. Masih banyak tugas-tugas kerajaan menantinya, Sang Pangeran Klan Kaurava.

 

 

 

 

 

 

 

“Meskipun kamu tidak di sini, dunia yang baru akan tetap kupersembahkan untuk kaulihat dari surga sana.”

 

 

 


 

a/n: wuhuu, how about it, reader? Komik ini benar-benar menginspirasi jiwaku yang suka baca sejarah (tapi ga suka hapalannya).

 

Comments

Comments are moderated. Keep it cool. Critical is fine, but if you're rude to one another (or to us), we'll delete your stuff. Have fun and thanks for joining the conversation!

You must be logged in to comment.

There are no comments yet for this story.

Log in to view all comments and replies


^ Back to Top